Sabtu, 04 November 2017

Menangislah, Kemudian Bangkit!


Dalam kehidupan, kita pasti akan mengalami satu titik terendah, di mana segala ketakutan dan luka di masa lalu menyerang secara bersamaan. Ketika semua masalah membuat kita tidak berdaya dan tidak mampu lagi untuk berpura-pura bersikap biasa, cuek, atau tegar di hadapan orang lain, mungkin yang kita butuhkan saat itu adalah menangis.

Mungkin terdengar biasa atau ada yang beranggapan terlalu cengeng? Itu tergantung sudut pandang siapa yang kita pakai. Kalau laki-laki pasti akan beranggapan seperti itu, tapi kalau perempuan lain persoalan.

Pada dasarnya menangis bukanlah masalah gender. Tak peduli lelaki atau perempuan, apapun latar belakang dan berapapun usia kita, kita boleh menangis. Ini merupakan salah satu cara terbaik dalam meluapkan emosi. Mungkin perempuan lebih sering memakainya daripada lelaki, sampai akhirnya menangis diidentikkan dengan kata perempuan. Tapi sekali lagi saya perlu menegaskan, menangis bukan hanya ‘bahasa’ perempuan. Menangis adalah sifat manusiawi ketika bibir tidak lagi dapat mengungkapkan isi hati. Ketika otak tidak mampu memberikan jawaban atau penyelesaian atas situasi yang terjadi saat itu.

Kita bisa mengeluarkan semua rasa sesak di dalam dada. Karena bagi saya sendiri, menangis merupakan salah satu pelarian, semacam pelampiasan dimana kita tidak bisa mengontrol amarah, rasa sakit, dan segala emosi yang meluap. Justru yang lebih berbahaya adalah ketika seseorang menekan perasaannya dan mengatakan ‘jangan nangis’ sampai akhirnya dia menjadi seorang yang pemarah. Sudah menjadi rahasia umum, orang yang pemarah cenderung memiliki sikap destruktif.

Pernah mendengar kata destruktif? Istilah ini merupakan sikap pengerusakan terhadap sesuatu, bisa diri sendiri maupun ‘dunia luar’ berupa makhluk hidup ataupun benda mati. Contohnya saat kita memiliki keinginan kuat untuk membanting piring atau barang pecah belah hingga hancur berantakan. Prang! Prang! Setelah itu rasanya hati kita lebih mendingan.

Saya tidak akan mengatakan sikap itu salah, karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk meluapkan emosinya, bahkan ada seseorang baru bisa reda amarahnya setelah memukul benda keras seperti tembok, tanpa peduli apakah tangannya terluka atau tidak.

Tapi saya juga tidak ingin membenarkan sikap destruktif, karena jika kita orang kaya yang bisa membeli dan mengganti berbagai barang yang habis kita pecahkan maka semua menjadi tidak masalah, tapi jika bukan maka hal tersebut hanya akan menambah runyam. Terlebih lagi, destruktif berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang di sekitar kita. Destruktif terhadap diri sendiri alias melakukan ‘pengerusakan’ terhadap fisik kita seperti menonjok tembok hanya akan menyakiti tangan kita. Juga yang menjadi kekhawatiran adalah bila sikap ‘pengerusakan’ tersebut dilampiaskan kepada orang lain, seperti membuat memar wajah orang, masalah takkan kunjung selesai.

Jadi, menangislah karena air mata dapat bekerja lebih baik dalam menenangkan hati kita daripada sikap destruktif, setelah itu berjanjilah pada diri sendiri, kita akan kembali bangkit dari keterpurukan. Jangan jadi manusia cengeng sungguhan! Karena manusia yang cengeng adalah seseorang yang menjadikan masalah sebagai alibi untuk bisa terus-menerus larut dalam tangisan tanpa berniat ‘melawan’ masalahnya.

Guys, ingat roda kehidupan terus berjalan! Mungkin saja, saat ini kita sedang berada di bawah, berada di titik dimana kita merasa dunia seolah-olah sedang menertawakan kita. Tapi jangan lupa, suatu hari akan ada waktunya kita berada di atas. Ada saatnya kita mampu ‘berdiri tegak’ setelah kita berhasil melewati segala macam emosi yang pernah menyakiti diri kita.

by Nila Fauziyah

0 komentar:

Posting Komentar