Selasa, 10 September 2024

PROMOSIKAN BUDAYA BATAK DALAM WEDDING BATAK EXHIBITION 2024

Siapa yang tidak tahu suku Batak? Salah satu suku yang terkenal dengan tarian to-tor dan kental akan nama marganya. Namun, untuk kali pertama di Indonesia, Helaparumaen dan Chathaulos akhirnya mempersembahkan pameran budaya Batak dalam bentuk yang berbeda. Bertemakan WBE (Wedding Batak Exhibition) 2024, pameran ini tidak sekadar mempromosikan budaya Batak secara keseluruhan, tapi juga dari sisi tradisi ruang lingkup pernikahan.

Pameran yang berlangsung selama dua hari itu, 7-8 September 2024 di SMESCO Convention Hall Lt. 2, bermaksud untuk memperkenalkan budaya Batak dengan menghadirkan para vendor di bidang jasa pernikahan mulai dari jasa dekorasi wedding organizer, surat undangan, gaun pernikahan, katering pernikahan Batak, sampai tas-tas yang terbuat dari kain ulos.

Helaparumaen dan Chathaulos sendiri merupakan organisasi yang berdedikasi untuk melestarikan dan mempromosikan budaya Batak. Keduanya berkomitmen untuk menyediakan platform bagi masyarakat Batak dan masyarakat luas untuk belajar, menghargai, dan merayakan budaya dan tradisi Batak.


Menurut Martha Simanjuntak (Project Director WBE 2024), pameran ini dirancang untuk mempertemukan para vendor pernikahan Batak dan nasional dengan calon mempelai, dengan harapan acara ini bisa menjadi referensi dan inspirasi bagi para calon pengantin Batak dalam mempersiapkan momen sakral mereka.

Lebih dari itu, acara ini juga memberikan ruang bagi talenta muda untuk menampilkan keterampilan dan kreativitas mereka, baik dalam fashion, musik, maupun tarian tradisional Batak. Dengan harapan masyarakat luas dapat melihat bahwa budaya Batak tidak hanya relevan bagi masyarakat Batak sendiri, tetapi juga mampu memberikan inspirasi dan nilai-nilai yang dapat diapresiasi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

"Ini adalah kesempatan emas bagi kami untuk menyatukan budaya Batak dalam konteks kebangsaan yang lebih luas," tambah Martha.

Hongkia Doni Silalahi sebagai Program Director WBE 2024 juga menyampaikan pendapat yang senada, acara ini akan menghadirkan beragam kegiatan menarik, termasuk pameran budaya, fashion show, talk show, konser musik, dan kompetisi make-up artist (MUA). 


Ceremonial Acara Hari Pertama

Pembukaan acara berlangsung secara meriah. Pengunjung disuguhkan dengan tarian Batak yang menampilkan lima budaya Batak utama, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing.

Setelah itu, dilanjutkan dengan talkshow bertemakan Harta, Tahta, dan Wanita. Bersama Ibu Martha Simanjuntak selaku Founder IWITA dan Ibu Ina Rachman, SH., M.Hum, acara ini membahas tentang bagaimana tradisi Batak memengaruhi kehidupan rumah tangga para pengantin Batak. Misalnya,  anak perempuan yang tidak bisa menjadi ahli waris, termasuk nama marga kelak akan diteruskan hanya kepada anak lelaki saja. Sedangkan perempuan, jika nantinya menikah maka marganya akan mengikuti marga dari suami. Perihal hak waris ini kerap menjadi perdebatan karena dianggap diskriminasi dan bersifat patriarki. Namun, kedua narasumber itu meyakinkan bahwa budaya tersebut berasal dari nilai-nilai leluhur yang sudah tertanam sejak lama, dan bukan berarti perempuan Batak saat ini tidak bisa mendobrak adat tersebut. Karena sejatinya, budaya-budaya patriarki tersebut tergantung pada keluarga Batak masing-masing. Meski perempuan tidak menjadi ahli waris, terkadang orangtua tetap memberikan hadiah berupa emas dan semacamnya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak perempuan mereka.

"Ada juga yang memilih memberikan hak waris secara agama, bukan secara adat, itu semua tergantung keputusan bersama para ahli warisnya. Jika setuju, maka anak perempuan bisa mendapat warisan sama seperti laki-laki," ujar Ibu Ina.

Yang pada intinya tidak ada yang perlu ditakutkan dengan budaya Batak. Sama seperti budaya-budaya lain yang ada di pelosok Indonesia. Budaya dan tradisi bisa berperan penting dalam kehidupan rumah tangga. Namun sejatinya, keluarga masing-masing-lah yang memutuskan apakah akan tetap menggunakan budaya tersebut atau tidak.




Minggu, 07 Januari 2024

Transit 19 Jam di Malaysia, Ngapain Aja?

 Dengar kata transit, saya yakin kalian pasti paham kalau tujuan traveling saya bukan ke Malaysia. Yup! Aslinya saya mau ke Korea Selatan. Tapi berhubung harga tiket pesawat langsung dari Jakarta ke Korea mahalnya nauzubillah pake banget, jadi saya pilih transit aja. Oh beda ya? Iya, beda banget.


Misalnya, harga tiket dari Jakarta langsung ke Korea tanpa transit (baik yang keluar bandara maupun sekadar pindah pesawat) itu sekitar 5 – 10 jutaan tergantung jenis pesawatnya. Sedangkan harga tiket yang transit sekitar 3 – 5 jutaan. Itu one way ya alias cuma harga tiket keberangkatan. 

Balik ke topik, karena saya dapat jadwal terbang ke Korea hari Rabu sekitar jam 07.15 pagi waktu Malaysia, otomatis saya kudu stay dong dari Selasa malam. Tapi ngerasa sayang aja gitu, jauh-jauh ke negeri tetangga kalau berangkatnya pas malam. Jadi, saya putuskan untuk ambil jam keberangkatan hari Selasa pagi. So, semakin panjanglah jam transitnya hahaha.

Sinar mentari di Bandara KLIA 2

Dari Berdua, Jadi Bertiga
Jadi, di perjalanan kali ini sempat ada drama keluarga. Rencana awal, saya dan sahabat karib bernama Tami mau ikut open trip Korea. Biaya open trip ini bisa dicicil selama kurang lebih setahun, jadi sebulan sejuta. Sudah mulai berjalan beberapa bulan, tiba-tiba Tami dilarang pergi ke Korea sama ortunya. Dengan berbagai upaya dan rayuan biar diizinin, kami kalah telak. Kalau kata ibunya nggak boleh, ya nggak boleh. Skak! Maka cancel-lah si Tami berangkat ke Korea dengan biaya DP dan cicilan otomatis hangus. 

Tapi berhubung tiket ke Malaysia udah kebeli—dan rugi banyak kalau hangus juga, jadi Tami tetap berangkat ke Malaysia. Tami juga ngajak Retno, teman kantornya buat ikutan ke Malaysia nemenin dia. Maksud hati, biar pas saya berangkat ke Korea, mereka bisa eksplore Malaysia lebih lama gitu. Balas dendam ceritanya. 😅

Maka, inilah tim resmi One Day Trip in Malaysia! 


Cari Tempat Penitipan Koper? Hhmm ...
Saya dan Tami berangkat lebih dulu dengan pesawat yang sama, tiba di KLIA 2 (Kuala Lumpur International Airport 2) pukul 11.45 waktu setempat. Beli cemilan onigiri dan air mineral di minimarket bandara. Terus turun ke lantai satu, nunggu bus gratis di free shuttle menuju KLIA 1 untuk jemput Retno. Kami sangka bakal mudah, tinggal kabarin posisi di mana, nanti jemput di mana, selesai. Nyatanya, sampai bolak-balik naik turun lift, nanya sana sini nggak ketemu juga. Udah mulai bete-bete-an, akhirnya saya coba paham-pahamin bahasa di papan petunjuk arah. Walau masih satu rumpun, asli deh ternyata bahasa Malaysia ngebingungin euy.

Satu jam kemudian, akhirnya ketemu. Tapi masalah belum selesai di situ. Kami balik ke KLIA 2 buat cari tempat penitipan koper. Nggak lucu dong, mau jelajah tempat wisata geret-geret koper. Berbekal pencarian di internet, dengan bangga saya yakinkan mereka berdua, “Ada kok. Tempat penitipan koper ada di KLIA 2, itu deket pintu check out dan bla bla bla ....” 

See? Lagi-lagi waktu kami terbuang sia-sia. Lucunya, seorang petugas yang saya tanya malah jawab, “Apa itu koper? Awak tak paham.” Lalu, dengan bahasa tarzan saya kasih unjuk koper saya.

“Oh, sorry, maksudnya ini. Tempat penitipan barang ini.” 

“Baggage?” 

“Hah?” Saya pun bertambah bingung, bagasi yang dia maksud sama nggak nih sama yang saya pikir? Ntar salah-salah malah dimasukin ke bagasi pesawat lagi. Hadeuhh *tepok jidat*

Belum juga keluar bandara, kaki udah pegel duluan. Tami mulai sakit kepala karena lagi nggak enak badan. Waktu udah mau jam 3 sore dan kami kelaparan! Fix nyerah! Lambaikan bendera putih! 

Kami langsung cari makan, biar cepat kami pilih KF* aja. Tapi jujur masih enakan KF* di Indonesia, entahlah rasa ayam sama sup di sana agak aneh menurut kami. Tapi kata Lave, KF* Malaysia lebih enak daripada di Indonesia, ya beda lidah beda pendapat sih. Btw, siapa itu Lave? Nanti saya ceritain. 

Intinya, sekitar setengah 3 sore kami baru keluar dari bandara. Setelah tahu harga ongkos kereta, taksi, dan segala macam transportasi menuju KL Sentral, kami putuskan naik bus aja. Harganya lebih terjangkau. 

Tempat pemberhentian akhir Bus KLIA 2 - KL Sentral

Butuh sekitar satu jam untuk sampai di KL Sentral, dari sana kami ke stasiun lanjut naik KTM commuter jurusan Batu Caves. 

Lift turun menuju stasiun

Tiba di Batu Caves sudah jam 5-an, udah agak sepi di sana. Langitnya mendung, bahkan sempat gerimis manja. Beruntungnya, gerbang tangga menuju ke kuil masih dibuka. Tadinya kami sempat pesimis, karena menurut mbah google, Batu Caves tutup jam 5 sore. Sedangkan kami nge-pas banget sampai di sana jam 5-an. Alhamdulillah infonya salah hahaha ... 

Batu Caves, Tempat Ibadah Berbalut Wisata 
Mulai dari depan pintu gerbang sampai ke pelataran bawah tangga, kami mendengar suara-suara orang sedang beribadah gitu. Wajar sih, karena Batu Caves itu ibarat Candi Borobudurnya Malaysia. Hanya beda agama aja, kalau di Borobudur penganut Budha, sedangkan di Batu Caves penganut Hindu.

Akhirnya geret-geret koper 😅

Jadi kebayangkan seperti apa menariknya Batu Caves?

Di sana ada dua spot utama, pertama pelataran di depan patung Dewa Murugan yang berukuran besar. Warnanya emas, sangat mencolok. Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan yang bentuknya unik, ada kubahnya gitu terus warna-warni. Lalu, ketika saya coba zoom kamera lebih dekat ke arah kubah-kubah itu, ternyata ada patung-patung kecil. Saya kurang tahu itu patung apa atau dewa siapa, tapi sosoknya ada yang berupa perempuan dan laki-laki.

Sisi kanan pelataran
(©2019 by Novita Utami)
Sisi tengah pelataran

Serunya, di pelataran itu banyak burung-burung merpati bergerombol. Jadi, spot tersendiri deh bagi pengunjung yang mau foto. Btw, pas di dekat pintu gerbang masuk tadi, banyak monyet-monyet berkeliaran. Jadi, be safety ya walaupun monyetnya kalem-kalem nggak sampai "ngerebut barang".


sisi kiri pelataran

Spot utama kedua, adalah goa tempat ibadah. Walaupun tempat ibadah, pengunjung diperbolehkan kok untuk masuk dan melihat ke dalamnya. Tinggal adab kitanya aja yang sopan dan menghargai mereka terutama kalau lagi ada yang ibadah.



Warna-warni tangga menuju goa

Letak goanya di atas bukit. Jadi, kalau mau ke sana, kita kudu menaiki sekitar 290 anak tangga dulu. Hehehe ... Capek? Nggak sih sebenarnya. Soalnya tangganya warna-warni, bangus banget. Malah bikin salah fokus, yang niatnya ke goa malah stagnan di tangga buat foto-foto 😅.

© 2018 by Novita Utami

Sampai nggak sadar, tahu-tahu udah jam 7 aja. Padahal langit di sana masih terang, lho. Beda sama di Jakarta, jam 7 udah gelap.



Back to pelataran

Langitnya masih terang

Nuansa India di Batu Caves cukup kental, Guys. Rata-rata penjual di sana orang India asli. Beberapa kali mata saya menangkap mereka berpakaian baju sehari-sehari, lalu dilapisi kain sari. Malah ada yang murni pakai sari aja. For information, kain sari adalah pakaian khas India. Menambah keyakinan bahwa mereka orang India, ada Bindi atau Sindoor alias tanda bulatan merah gitu di kening mereka. Di luar gerbang, mereka berjualan pernak-pernik kayak kalung, bros, dll. Sedangkan di dalam Batu Caves mereka berjualan “benda-benda” untuk ibadah (menurut saya sih), misalnya rangkaian bunga berbentuk kalung. Biasanya kalau di film-film India, gunanya untuk mengalungkan orang yang dihormati, baik yang masih hidup atau foto orang yang sudah meninggal.

bersambung ....
.
.
.
.
.
Mau lihat keseruan versi vlognya? Tonton aja di Youtube. Jangan lupa like, share, dan subscribe kalau suka ðŸ’š