Rabu, 29 November 2017

the Golden Story of Abu Bakar ash-Shiddiq



Judul: the Golden Story of Abu Bakar ash-Shiddiq
Penerbit: Maghfirah Pustaka
Penyusun: Dr. Ahmad Hatta, MA, dkk
Penyunting: Saiful Hamiwanto, Ircham Alvansyah, Erwyn Kurniawan
Penata letak: Tim Maghfirah
Terbit: Cetakan pertama, Januari 2015
Jumlah halaman: 212 halaman

Tak pernah ada kata bosan membaca kisah hidup seorang tokoh inspiratif. Terlebih lagi kisah tentang salah satu sahabat Nabi yang begitu hebat mendampingi Rasulullah SAW.  Ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy, atau yang lebih kita kenal sebagai Abu Bakar ash-Shiddiq

Nama ash-Shiddiq sendiri merupakan julukan yang diberikan Nabi SAW kepada Abu Bakar setelah peristiwa Isra Miraj, yaitu ketika orang-orang Quraisy meragukan cerita yang disampaikan Rasulullah, Abu Bakar justru dengan tegas membenarkan cerita tersebut. Sejak itulah,  ayah dari Aisyah (isteri Nabi Muhammad SAW) ini menyandang gelar ash-Shiddiq, yang berarti (berkata benar).


Tapi apa kisahnya hanya sebatas itu?

Tidak! Ada banyak momen emas Abu Bakar yang diceritakan dalam buku terbitan Maghfirah Pustaka. Itu sebabnya, buku ini diberi judul "the Golden Story". Mengupas dan mengisahkan kehidupan Abu Bakar dengan sangat apik, buku ini dipenuhi dengan momen-momen mengharukan sampai yang terasa begitu berat.

Abu Bakar adalah orang pertama yang memeluk Islam, orang yang senantiasa menemani Rasulullah berhijrah, menemani beliau menaiki Gua Hira, menyumbang harta lebih besar daripada sahabat yang lainnya, namun tiada sedikit pun ia merasa sombong dan riya atas pemberiannya.

Ia adalah sosok kepercayaan Nabi SAW yang begitu dihormati dan dikasihi. Rasulullah kerap meminta tolong kepada Abu Bakar, misalnya ketika beliau sakit, beliau pun menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam dalam salat berjamaah. Saat berhijrah ke Madinah pun, Rasulullah meminta langsung Abu Bakar untuk menemaninya.


Sungguh, sifat ash-Shiddiq dalam diri Abu Bakar membuatnya mampu menjadi cikal bakal seorang pemimpin. Hingga peristiwa menggetarkan itu terjadi, Rasulullah wafat dan para sahabat merasa amat terpuruk, Abu Bakarlah yang tetap tegar.

Nabi mereka memang telah tiada, tapi Islam harus terus berjaya. Abu Bakar pun ditunjuk menjadi khalifah pertama.

Material Book
Selain kisahnya yang menggetarkan, the Golden Story of Abu Bakar ash-Shiddiq ini juga memiliki keunggulan dalam segi fisik bukunya.

Cover tebal (hardcover) ditambah perpaduan warna antara gradasi cokelat dan emas membuat buku ini tampak kokoh dan kuat seperti batang pohon.


Kertas yang digunakan terbuat dari bahan lux dan full colour, hal itu sangat baik untuk meminimalisasi kebosanan kita saat membaca. Tidak lupa, adanya foto-foto ekslusif, tabel-tabel, peta, dan diagram yang membuat buku ini menjadi semakin menarik.



Finally, bahasa yang disuguhkan begitu mengalir dan sistematis. Jadi, cocok untuk dijadikan rujukan bagi siapa pun yang ingin menelusuri kisah dan sejarah hidup Abu Bakar ash-Shiddiq.

Sabtu, 25 November 2017

Mulutmu Harimaumu, Awas Ada yang Sakit Hati


Judul: Mulutmu Harimaumu, Bahaya Lisan
Penulis: Dr. Umar Abdul Kafii
Penerbit: Maghfirah Pustaka
Penerjemah: Ummu Hasnan, Lc
Editor: Ahmad Faisal
Halaman: 260 halaman
Harga: Rp 56.000

Don’t judge a book by cover. Mungkin itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan buku Mulutmu Harimaumu, Bahaya Lisan terbitan Maghfirah Pustaka ini. Karena jujur, saya kurang suka dengan gaya ilustrasi dari cover buku tersebut. Rasanya kurang pas menyandingkan judul buku yang berisi teguran dengan ilustrasi yang terkesan humor.

Garis-garis ilustrasi yang menggambarkan kepala manusianya justru mengingatkan saya dengan komik strip di koran-koran. Sisi humor dan sarkastik dari ciri khas gambar ini sudah tertanam di benak saya, sehingga membuat saya menilai ilustrasi covernya kurang pas. Ditambah font judulnya yang kurang menarik, membuat saya sempat enggan untuk membaca bukunya.

Tapi, sekali lagi don’t judge a book by cover, kita tidak bisa menilai buku ini dengan baik jika tidak melihatnya secara keseluruhan. Apalagi sebenarnya buku ini memiliki tema yang bagus. Cocok dengan kondisi kehidupan masyarakat modern zaman sekarang. Sedikit-sedikit nyetatus, sedikit-sedikit posting di media sosial. Bahkan terkadang, tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu, kita langsung nge-share info-info yang bisa saja hoax alias berita palsu.

Lalu, ujung-ujungnya ketika ada komentar yang tidak sepaham dengan kita, kita akan marah dan memperdebatkan hal itu sampai kita menang dan merasa puas. Nauzubillah minzalik ...

Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa:
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu  tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (al-Hujurat [49]: 6) - halaman 39
ISI BUKU
Buku ini memang bukan sekadar buku non-fiksi biasa. Buku ini adalah suatu pemikiran cerdas dari penulisnya, Dr. Umar Abdul Kafii mengenai seberapa bahayanya lisan manusia. Bak sebilah pedang, lisan manusia itu sangatlah tajam. Kalau kita tidak berhati-hati menjaga lisan, kita bisa menorehkan luka di hati sesama. Kalau tidak berhati-hati, kita bisa menimbulkan gosip, fitnah, dan segala macam keburukan yang bukan hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga orang lain yang menjadi lawan bicara dan kita bicarakan.

Dalam buku ini dijelaskan, bahwasannya hubungan rumah tangga suami-istri bisa hancur gara-gara lisan. Seorang anak bisa menjadi durhaka kepada orangtuanya gara-gara lisan. Hubungan silaturahmi pun bisa putus gara-gara lisan.

Kita mungkin beranggapan, menjaga lisan adalah hal yang mudah. Asal tidak mengatakan hal yang buruk kepada orang lain, bertutur kata lembut, dan sopan itu sudah cukup. Tapi kenyataannya, persoalan menjaga lisan tidak hanya sebatas itu. Terkadang tanpa sadar, ketika kita berbuat baik kepada seseorang, kita mulai mengungkit-ungkit kebaikan tersebut di depan orang lain atau malah orang yang kita tolong.


Niat hati mau membanggakan diri, tapi lisan yang dipenuhi kesombongan itu perlahan membuat hati kita jemawa, mudah merendahkan, dan meremehkan orang lain.
Diibaratkan, jika minuman keras adalah induknya dosa besar, maka sombong adalah bapaknya dosa besar. - halaman 49
Sedangkan dalam Islam, seseorang yang menyimpan kesombongan sekecil apa pun di dalam hati mereka, tidak diperkenankan masuk surga. Apalagi yang sampai dikeluarkan melalui mulut?

Pada intinya, pembahasan mengenai perkara menjaga lisan ini memang sangat kompleks. Satu sikap mempengaruhi sikap yang lain. Namun, yang saya suka, buku ini mampu menuturkan akar permasalahan yang disebabkan oleh lisan dengan baik. Penjelasannya tidak bertele-tele, lugas, dan enak dibaca oleh orang awam seperti saya sekalipun.

Juga buku ini tidak banyak mengutip ayat al-Qur’an yang tidak penting atau sekadar tempelan. Sehingga setiap kali dimunculkan ayat al-Qur’an yang mendukung opini si penulis, isi buku ini jadi terlihat lebih berbobot.

Jumat, 24 November 2017

Kids Zaman Now Harus Punya POWER


Judul: MUSLIM KIDS POWER
Penyusun: Sakti Okihanto (Mr. Pret)
Editor: Syarifah Levi
Proofreader: Saiful Hamiwanto
Ilustrator: Agi Sandyta
Jumlah: 48 halaman
Harga: Rp 39.000

“Teman-teman yang hebat, Allah SWT dan Rasulullah SAW menyukai anak-anak Muslim yang memiliki POWER. Sahabat Rasulullah SAW dan orang Shalih pun memiliki sifat POWER ini, sehingga mereka menjadi Muslim terbaik sekaligus teladan sepanjang masa. Kalian mau menjadi anak-anak Muslim terbaik di hadapan Allah SWT dan memiliki POWER?”

Kalimat di atas adalah blurb dari buku inspirasi karya kak Oki alias Mr. Pret. Pria kelahiran Jakarta ini memang lebih dikenal sebagai pendongeng. Dia sudah menjelajahi sekolah-sekolah sampai perusahaan-perusahaan, dari pulau Sumatra sampai Papua untuk mendongeng. Untuk kali pertamanya, Mr. Pret akhirnya menerbitkan sebuah buku berjudul Muslim Kids POWER.

Tapi, POWER? Maksudnya bersemangat  dan penuh kekuatan gitu ya? Cocok sih dengan covernya yang dominan berwarna merah. Karena warna merah sendiri menggambarkan emosi yang meluap-luap dan semangat yang berapi-api. Ditambah lagi adanya ilustrasi dua anak muslim dan muslimah yang terlihat tegap dan serius. Seolah buku ini ingin mengajak pembacanya ikut bersemangat, penuh kekuatan, dan tegas menjalani kehidupan sehari-hari sebagai anak Muslim.

ISI BUKU
Sayangnya, persepsi awal saya tentang buku ini tidak sepenuhnya benar. Power yang dimaksud tidak sesederhana itu. Kata POWER di sini merupakan akronim yang masing-masing hurufnya memiliki makna tersendiri.

P adalah Pemberani


Pemberani itu artinya punya hati yang mantap dan percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya. - Halaman 6
Salah satu tokoh yang memenuhi kriteria Pemberani adalah Umar bin Kaththab. Dia adalah khalifah kedua yang terkenal sangat tegas dan pemberani.

Dulu sebelum masuk Islam, Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi. Namun, sejak Umar mengucapkan dua kalimat syahadat, ia mengusulkan Nabi SAW untuk berdakwah secara terang-terangan. Keberanian Umar tentu saja mengundang kekesalan kaum Quraisy, tapi musuh-musuhnya itu segan kepada Umar. Bahkan jin dan setan takut lho melihat Umar. Karena Umar adalah salah satu umat Rasulullah yang tidak takut kepada apa pun, kecuali Allah SWT. Sehingga ke mana pun Umar pergi, dia percaya bahwa Allah SWT senantiasa bersama dirinya. Masya Allah ...

Lalu, ada lagi kisahnya Khalid bin Walid, seorang panglima perang Islam yang selalu membawa kemenangan dalam setiap peperangannya. Khalid adalah sosok yang gagah berani, cerdas, dan pejuang sejati. Saking pejuangnya sampai-sampai dia menyesal dan memohon ampun kepada Allah. Menyesalnya bukan lantaran apa-apa, melainkan dulu sebelum Khalid masuk Islam, ia memimpin peperangan melawan Islam dalam Perang Uhud. Nah, dalam peperangan tersebut kelompok Khalid yang awalnya mengalami kekalahan akhirnya berhasil menaklukkan kelompok Muslim. Penyerangan yang dilakukan Khalid dan kelompoknya bahkan sempat melukai Rasulullah SAW. Setelah masuk Islam, dia pun mulai menyesali perbuatannya.

Selain dua tokoh di atas, masih banyak tokoh-tokoh lain yang diceritakan dalam buku Muslim Kids POWER. Itu pun baru P (Pemberani), masih ada O-W-E-R. Jadi, OWER-nya apa? Silakan baca bukunya sendiri ya, yang pasti buku ini sangat menarik. Kertasnya yang glossy dan isi bukunya yang full colour membuat anak-anak nyaman membacanya. Kisah-kisah yang disuguhkan juga insyaAllah menginspirasi karena true story, bukan tokoh khayalan seperti pahlawan-pahlawan superhero buatan negeri Hollywood. Juga, dengan membaca buku ini, kita bisa mengenal lebih banyak lagi nama-nama tokoh dalam Islam termasuk para khalifah dan sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW.

Sabtu, 04 November 2017

Menangislah, Kemudian Bangkit!


Dalam kehidupan, kita pasti akan mengalami satu titik terendah, di mana segala ketakutan dan luka di masa lalu menyerang secara bersamaan. Ketika semua masalah membuat kita tidak berdaya dan tidak mampu lagi untuk berpura-pura bersikap biasa, cuek, atau tegar di hadapan orang lain, mungkin yang kita butuhkan saat itu adalah menangis.

Mungkin terdengar biasa atau ada yang beranggapan terlalu cengeng? Itu tergantung sudut pandang siapa yang kita pakai. Kalau laki-laki pasti akan beranggapan seperti itu, tapi kalau perempuan lain persoalan.

Pada dasarnya menangis bukanlah masalah gender. Tak peduli lelaki atau perempuan, apapun latar belakang dan berapapun usia kita, kita boleh menangis. Ini merupakan salah satu cara terbaik dalam meluapkan emosi. Mungkin perempuan lebih sering memakainya daripada lelaki, sampai akhirnya menangis diidentikkan dengan kata perempuan. Tapi sekali lagi saya perlu menegaskan, menangis bukan hanya ‘bahasa’ perempuan. Menangis adalah sifat manusiawi ketika bibir tidak lagi dapat mengungkapkan isi hati. Ketika otak tidak mampu memberikan jawaban atau penyelesaian atas situasi yang terjadi saat itu.

Kita bisa mengeluarkan semua rasa sesak di dalam dada. Karena bagi saya sendiri, menangis merupakan salah satu pelarian, semacam pelampiasan dimana kita tidak bisa mengontrol amarah, rasa sakit, dan segala emosi yang meluap. Justru yang lebih berbahaya adalah ketika seseorang menekan perasaannya dan mengatakan ‘jangan nangis’ sampai akhirnya dia menjadi seorang yang pemarah. Sudah menjadi rahasia umum, orang yang pemarah cenderung memiliki sikap destruktif.

Pernah mendengar kata destruktif? Istilah ini merupakan sikap pengerusakan terhadap sesuatu, bisa diri sendiri maupun ‘dunia luar’ berupa makhluk hidup ataupun benda mati. Contohnya saat kita memiliki keinginan kuat untuk membanting piring atau barang pecah belah hingga hancur berantakan. Prang! Prang! Setelah itu rasanya hati kita lebih mendingan.

Saya tidak akan mengatakan sikap itu salah, karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk meluapkan emosinya, bahkan ada seseorang baru bisa reda amarahnya setelah memukul benda keras seperti tembok, tanpa peduli apakah tangannya terluka atau tidak.

Tapi saya juga tidak ingin membenarkan sikap destruktif, karena jika kita orang kaya yang bisa membeli dan mengganti berbagai barang yang habis kita pecahkan maka semua menjadi tidak masalah, tapi jika bukan maka hal tersebut hanya akan menambah runyam. Terlebih lagi, destruktif berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang di sekitar kita. Destruktif terhadap diri sendiri alias melakukan ‘pengerusakan’ terhadap fisik kita seperti menonjok tembok hanya akan menyakiti tangan kita. Juga yang menjadi kekhawatiran adalah bila sikap ‘pengerusakan’ tersebut dilampiaskan kepada orang lain, seperti membuat memar wajah orang, masalah takkan kunjung selesai.

Jadi, menangislah karena air mata dapat bekerja lebih baik dalam menenangkan hati kita daripada sikap destruktif, setelah itu berjanjilah pada diri sendiri, kita akan kembali bangkit dari keterpurukan. Jangan jadi manusia cengeng sungguhan! Karena manusia yang cengeng adalah seseorang yang menjadikan masalah sebagai alibi untuk bisa terus-menerus larut dalam tangisan tanpa berniat ‘melawan’ masalahnya.

Guys, ingat roda kehidupan terus berjalan! Mungkin saja, saat ini kita sedang berada di bawah, berada di titik dimana kita merasa dunia seolah-olah sedang menertawakan kita. Tapi jangan lupa, suatu hari akan ada waktunya kita berada di atas. Ada saatnya kita mampu ‘berdiri tegak’ setelah kita berhasil melewati segala macam emosi yang pernah menyakiti diri kita.

by Nila Fauziyah