Jumat, 15 Oktober 2021

Ngulik Pengusaha: Lia Ayu Susilowati

Hobi yang dilakukan secara tekun memang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Begitu pula yang terjadi pada Lia Ayu Susilowati, owner Geulie’s Handmade yang awalnya hanya menjadikan handmade sebagai hobi. Kini bisnisnya telah menghasilkan omzet 30-35 juta perbulan.


Sudah sejak dulu, handmade menjadi makanan sehari-hari bagi perempuan yang akrab disapa Lia. Pengalamannya menjadi ketua eskul majalah dinding (mading) saat duduk di bangku SMP membuat Lia dikenal sebagai gadis yang kreatif. Bisa dikatakan darah seni mengalir dalam tubuh Lia berkat kedua orang tuanya. Sang ibu bernama Emilia Mulyati pernah menjadi seorang penari, sedangkan ayah Susilo pernah menjadi pelukis.


Berbicara mengenai pelukis, sebenarnya Lia juga gemar menggambar dan melukis. Bahkan dulu ia kerap menjuarai lomba melukis dengan aliran naturalisme, melukiskan segala sesuatu sesuai dengan yang tertangkap oleh mata manusia. Hanya saja pada tahun 2009 selepas lulus dari SMAN 6 Depok, aliran lukisnya berpindah haluan ke arah fashion. Sebab Lia berhasil diterima di Universitas Negeri Jakarta dengan jurusan Tata Busana melaui jalur PMDK. Pengetahuan Lia bertambah. Dari sana, ia mulai mempelajari soal busana, aksesori, sampai teknik pembuatan kain yang nantinya menjadi modal bagi Lia untuk berbisnis Geulie’s Handmade.



Memasuki semester dua, Lia sempat bekerja dengan lelaki berkebangsaan India. Pemilik toko Mayestik itu menilai Lia memiliki potensi. Lia diperbolehkan bekerja di sana meski saat itu masih kuliah. Jadi, setiap minggu Lia menyetorkan hasil desainnya kepada pemilik toko. Klien-klien di tempat kerjanya banyak dari kalangan artis. Sampai teman-teman Lia yang mengetahui, merasa bangga dan memberi support. Tapi tak sedikit pula senior di kampus yang mencibirnya karena Lia dianggap masih junior, belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk bekerja menjadi desainer di Mayestik. 


Sebenarnya bukan tanpa alasan Lia menerima tawaran bekerja di sana. Melainkan demi memenuhi kebutuhan kuliah. Saat itu bisnis keluarganya sedang jatuh. Ayahnya yang sempat memiliki usaha taksi mengalami penipuan. Sopir taksi yang dipercaya oleh keluarga Lia justru memakai taksi tersebut untuk kepentingan pribadi. Setoran tidak didapat, usaha pun merugi. Akhirnya sang ibu memutuskan untuk berjualan nasi uduk di kampus UNJ.


Kendati demikian, Lia tak merasa malu membantu orang tuanya berjualan. Bahkan Lia ikut berjualan es potong yang ia buat sendiri untuk ditawarkan keliling. Nantinya uang hasil jualan diputar lagi untuk modal jualan berikutnya. “Sebelum kelas, biasanya aku jualan dulu. Sampai dijuluki kuda-kuda alias kuliah-dagang-kuliah-dagang,” papar Lia sambil tertawa kecil.



Memulai Usaha Geulie’s Handmade

Nama brand Geulie’s Handmade terinspirasi dari bahasa Sunda, yaitu geulis yang berarti cantik. Lia mengharapkan para pelanggannya semakin cantik setelah menggunakan produk kreasinya. Brand Geulie’s Handmade dapat diartikan pula sebagai kreasi hasil tangan khas Lia Ayu. Kreasinya itu sendiri meliputi aksesoris wedding, coker, hand bucket, aksesoris kebaya, bros, aksesoris gelang dari tulang, sampai aksesoris sepatu dari kerang.


Anak pertama dari tiga bersaudara itu mengisahkan, kali pertama terpikirkan untuk membuka usaha yaitu setelah lulus kuliah pada tahun 2012. Saat itu ia sudah tidak lagi bekerja di Mayestik. Namun berbagai pengalaman yang ia dapatkan menjadikan rasa percaya dirinya tumbuh. Bermodalkan uang Rp 50.000, Lia memutuskan untuk membeli kain jersey yang kemudian disulap menjadi hijab pasmina. Dengan memodifikasikan teknik teksmo, yaitu teknik monumental yang dilakukan dengan cara merusak bahan, merebus bahan, sampai menjadi bahan yang unik, pasmina buatan Lia mendapat tanggapan positif dari teman-temannya. Keuntungan penjualan mencapai Rp. 350.000, lalu diinvestasikan kembali untuk mengembangkan bisnis.


Sebelum usahanya merambah pada pembuatan gelang, kalung, cincin, dan aksesoris wedding lainnya, Lia sempat membuat replika cake. Replika berbentuk kue atau jajanan pasar yang terbuat dari bahan flannel, yang umumnya dijadikan hantaran pada acara perkawinan. Lia mengaku kebanyakan pembeli replika ini berasal dari orang-orang boga.


Sedangkan untuk aksesori wedding, Lia tertarik setelah melihat prospek bisnis aksesoris wedding jauh lebih menjanjikan. Terlebih sejak SMA Lia pernah menjajal bisnis aksesoris. Kini perempuan kelahiran 19 Mei 1991 itu hanya perlu menekuninya kembali. Lia menyadari bisnis yang dijalani saat ini juga banyak digeluti oleh pengusaha lain. Namun, ia tidak takut bersaing. Justru dengan adanya persaingan, ia dituntut untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif.


Berbicara mengenai kreativitas, Lia tidak pernah kehabisan ide dalam membuat produk Geulie’s Handmade. Justru saking banyaknya ide yang ada di dalam kepala, Lia harus segera menyalurkan ke dalam bentuk desain gambar. Sampai-sampai perempuan yang kerap memakai long dress dan hijab itu, tak pernah lepas dari sketchbook apabila sedang pergi keluar kota.


Lia merasa harus aktif menciptakan produk-produk baru, agar pelanggan tidak bosan dengan produk yang itu-itu saja. Sekaligus sebagai strategi bisnis agar Geulie’s Handmade dapat bertahan di tengah persaingan industri yang semakin ketat. Citra “ekslusif” juga melekat pada usaha yang Lia geluti. Satu desain hanya dibuat satu model. Terutama untuk produk-produk yang dijual dengan harga mahal. Jadi pelanggan tidak perlu takut modelnya pasaran. Lia dapat menjamin, karena produk yang ia buat adalah murni hasil tangan tanpa bantuan mesin. Hanya bermodalkan bahan baku aksesoris, lalu dibantu oleh asisten untuk merangkai produknya. Saat ini, Lia memiliki dua asisten yang sudah termasuk ahli payet di dalamnya, 5 pegawai tetap, dan 10 pegawai lepas yang dipercayai.


Kendati tidak menjual produk Geulie’s Handmade secara grosiran, Lia lebih suka mengerjakan produk berdasarkan permintaan pelanggan. Membuat stok produk sama saja membiarkan produknya tidak laku. Karena produk yang sudah terlalu lama, bisa-bisa terlihat usang dan menjadi tidak menarik.


Lia tidak mempermasalahkan jumlah pemesanan. Ia pernah menerima pesanan dalam satu model. Pernah pula menerima orderan dalam jumlah ribuan. Tetapi Lia tetap menekankan ciri “ekslusif”, membuatkan ribuan aksesoris dengan beberapa desain costum.


Mengingat banyaknya desain yang Lia buat, kakak dari Najla Nashirah Salma dan Yusuf Dwi Atmoko ini sedang mengupayakan Hak Cipta brand usahanya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. “Yang didaftarin hak ciptanya hanya brand Geulie’s Handmade saja. Soalnya terlalu banyak kalau mendaftarkan semua aksesoris,” ujar perempuan yang pernah meraih penghargaan Juara 1 Display Produk Terbaik di Pekan Kerajinan Jawa Barat (PKJB) Bandung, Jawa Barat.


Bagi Lia, sulit untuk mempertahankan ide original di bidang seni. Karena ditambah satu output sedikit saja, sudah menjadi produk yang berbeda. Namun, hal itu tidak menjadi alasan bagi Lia untuk berhenti berkreasi. Perempuan kelahiran Kalimantan ini kerap melakukan traveling ke berbagai daerah di Indonesia. Sembari refreshing, Lia mencari referensi dan bahan yang cocok untuk dikombinasikan dengan produknya.


“Biasanya kalau lagi jalan-jalan, ada saja yang menarik. Sekiranya bisa dibentuk-bentuk pasti aku fokusin jadi ide baru. Misalnya jalan-jalan ke Bali, aku nemuin bintang laut dan cangkang kerang. Aku pikir itu bisa ditempel jadi aksesoris,” ujar Lia merasa senang.


Penggemar warna pink ini senang mengombinasikan berbagai bahan dan output pada produknya. Seperti aksesoris wedding yang umumnya berbahan baku tembaga, oleh Lia ditambahkan payet dan bahan lain. Berdasarkan pengalamannya, aksesoris wedding yang hanya menggunakan tembaga dinilai tidak awet. Sehingga sebagian besar pelanggan justru meminati kreasi Lia Ayu yang dikombinasikan dengan bahan-bahan lain seperti payet.


Macam payet yang digunakan pun disesuaikan dengan budget para pelanggan. Payet keluaran Jepang memiliki harga yang cukup mahal dibanding payet biasa, sebab kualitas produksinya jauh lebih baik. Namun apabila pelanggan menginginkan aksesoris dengan harga terjangkau, Lia akan memakai payet non Jepang saja.


Lia memang menargetkan pangsa pasarnya untuk semua kalangan. Baik kalangan menengah ke bawah, maupun menengah ke atas. Karena itulah, Lia menyesuaikan produknya dengan pesanan pelanggan. Harga produk mulai dari Rp 15.000 hingga lebih dari Rp 1 juta per-item. Sedangkan baju pengantin dipatok harga sekitar Rp 1 - Rp 4 juta ke atas. Dari penjualan tersebut, omzet yang Lia dapatkan tidak kurang dari Rp 30 – Rp 35 juta perbulan.

 

Strategi Pemasaran

Pada awal merintis usaha ini, Lia masih mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Seiring berjalannya waktu, produknya mulai dipasarkan melalui akun facebook dan media sosial Blackberry Messenger. Berkat kepiawaiannya membangun jaringan, lambat laun pelanggannya tidak hanya datang dari berbagai daerah di Indonesia saja. Banyak pelanggan dari luar negeri yang mengorder produk Lia, seperti Malaysia, Singapura, Mekkah, Madinah, dan Hongkong.


Lia mengungkapkan betapa penting arti menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Pelayanan terbaik dan memuaskan akan menarik pelanggan untuk kembali mengorder produk Lia. Selain itu, perempuan yang pandai bergaul ini kerap membuka obrolan dengan pelanggan, membahas seputar aksesoris. Tapi tak jarang obrolan mereka merembet ke permasalahan pribadi dan menjadi ajang curhat.


Owner yang kerap diwawancari tentang bisnisnya oleh media cetak ini juga memiliki galeri sendiri. Lokasinya berada di Perumahan Sawangan Permai Blok F11 No 14, Jalan Perkutut, Sawangan Permai, Kota Depok. Bangunan yang didominasi warna pink itu merupakan tempat tinggal Lia, kemudian disulap menjadi tempat untuk memajang dan memasarkan hasil karya Geulie’s Handmade. Bagi pelanggan yang ingin memesan produk secara offline, Lia mempersilakan pelanggan untuk datang ke galerinya.


Selain itu, Lia juga kerap mengikuti berbagai pameran produk kreatif, pameran fashion, hingga pameran wedding. Fungsinya adalah untuk membesarkan nama Geulie’s Handmade serta mendapatkan pelanggan baru. Lia mengakui, omzet yang ia dapatkan dalam sekali pameran bisa mencapai Rp 15- Rp 17 juta. Hal tersebut tentu saja diimbangi dengan sebuah trik khusus dalam mendatangkan pengunjung. Mendesain stand sesuai dengan tema pameran tersebut, serta memajang berbagai produk yang unik dan menarik. Karena keunikan dan kreativitas mendesain stand, ia mendapat penghargaan sebagai Stand Industry Kreatif Terbaik Kategori Handicraft pada Festival Industri Kreatif Depok 2014.


Kreativitas Lia memang tidak pernah berhenti menuai prestasi. Bahkan sampai muncul kejadian yang unik ketika Lia mencoba menerapkan istilah draping pada boneka barbie. Sebenarnya saat itu Lia tengah dihadapkan pada masalah kecil, yaitu kerepotan membawa semua desain baju-baju wedding hasil rancangannya ke venue. Hal itu Lia lakukan karena mengikuti berbagai kegiatan promosi dalam rangka mengenalkan produknya ke masyarakat. Susahnya apabila agenda promosi dilakukan di luar kota. Untuk itu, Lia segera memutar otak. Ia berpikir untuk membuat manekin dengan ukuran mini yang mudah dibawa kemana-mana. Maka terciptalah barbie draping wedding muslimah, yaitu boneka barbie yang dipakaikan baju wedding muslimah rancangan Lia, yang dijahit dan dikerjakan dengan menggunakan tangan. Setelah selesai, boneka barbie dimasukkan ke dalam kotak yang bagian depannya terbuat dari kaca. Dengan begitu konsumen dapat melihat boneka tersebut dengan mudah.


Barbie draping wedding muslimah hanyalah sebuah dummy dari desain baju-baju rancangan Lia, yang nantinya akan dibuatkan baju aslinya apabila ada konsumen yang memesan. Hanya saja, tampaknya konsumen salah mengartikan kehadiran barbie draping wedding muslimah. Boneka tersebut justru dianggap sebagai bagian dari produk aksesori yang Lia tawarkan.


“Pernah dulu, saat ikut salah satu pameran di JCC (Jakarta Convention Center), salah satu konsumen dari Papua tertarik membeli pakaian barbie drapping wedding muslimah beserta boneka barbienya. Padahal yang dijual hanya fashion drapping wedding muslimahnya saja,” kenang Lia sambil tersenyum.


Kini melihat bahwa barbie draping wedding muslimahnya memberikan hasil, Lia mulai membandrolnya dengan harga bervariatif. “Paling mahal sekitar Rp 350.000.”


Selama menjalani usaha, Lia belum pernah mengalami kendala yang berarti. Termasuk soal pengiriman barang keluar kota. Umumnya para pembeli dari luar kota atau bahkan luar negeri memiliki jasa kiriman tersendiri. Malah terkadang dititipkan kepada teman mereka yang kebetulan datang atau berada di Jakarta. Lia juga punya satu pengalaman menggelitik yang berhubungan dengan “titip-menitip produk”. Pernah ada klien dari Hongkong yang memesan beberapa aksesoris, lalu oleh Lia dititipkan ke rumah tantenya si klien yang berada di Jakarta. Beberapa hari kemudian, klien itu mengabari Lia bahwa jumlah aksesoris yang Lia kirimkan kurang. Lia sempat panik. Ia ingat jelas bahwa jumlah aksesoris yang dikirimkan sesuai dengan permintaan klien. Bahkan sebelum semua produknya dibungkus, Lia meneliti kembali jumlah aksesoris bersama asistennya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Aksesoris yang hilang ternyata berada di tangan tantenya. “Ada di tantenya. Jadi pas tantenya terima paket, sama dia dibuka. Katanya aksesorisnya bagus. Jadi tantenya minta satu, tapi lupa bilang sama klienku yang di Hongkong,” kenang perempuan yang suka bicara ini.

Tapi tidak semua jasa pengiriman memiliki regulasi yang longgar. Ada beberapa yang sedikit lebih ketat, misalnya tidak menerima paket yang ada peniti di dalamnya. “Kadang sama jasa pengiriman sampai dicopotin. Kalau sudah begitu, aku pasti nyuruh asistenku yang copotin sendiri di sana biar nggak rusak produknya,” jelas Lia. Solusinya, Lia beralih menggunakan Pos meski waktu sampainya agak lama dibanding JNE atau jasa pengiriman lain.

Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Lia berhasil mendapatkan bantuan dana dari perusahaan telekomunikasi terbesar di tanah air, yaitu Telkom Indonesia. Selain dana, bantuan lain berupa macam-macam keterampilan juga Lia dapatkan. Bersama mitra binaan dan para pelaku UKM lainnya, Lia mengikuti pelatihan ekspor dan impor. Bantuan seperti itu, tentu saja berguna bagi pengembangan usaha Geulie’s Handmade.

Namun, sekali-kalinya Lia pernah mengalami pengalaman ditipu oleh konsumen  “nakal”. Pengalaman tersebut terjadi di awal-awal Lia merintis usaha. Ada pembelian melalui online. “Dia bilang sudah transfer dengan mengirim foto bukti pembayaran fiktif sebesar Rp 350 ribu. Karena transfernya melalui kliring, proses cairnya jadi lama sekitar 2- 3 hari. Jadi aku langsung kirim saja handmade pesanannya. Tapi ternyata ditunggu sampai tiga hari, tidak ada uang yang masuk,” keluh. Pengalaman berharga yang akhirnya membuat Lia memutuskan untuk mengubah sistem pembayarannya. Bagi pembeli online yang ingin memesan produknya, Lia mewajibkan pembayaran DP sebesar 50% dari harga jual. Setelah produknya siap, maka pembeli harus segera melunasi pembayaran, baru setelah itu barang dikirim. Pada sistem PO pun, Lia membatasi masa pelunasan maksimal tiga hari. Lewat dari tiga hari, DP dianggap hangus.

Perempuan yang menjabat sebagai koordinator pengusaha wanita muda se-Jawa Barat itu memberi bocoran, bahwa DP tersebut sudah mencangkup ongkos produksi. Dengan begitu Geulie’s Handmade bisa terus berproduksi, bahkan sampai mengantongi laba meskipun sedikit.

Belakangan, Lia sibuk menjadi narasumber dalam acara Buah Hati di stasiun televisi TVRI. Sembari mengisi acara, Lia kerap membawa beberapa produk aksesoris untuk ditawarkan kepada orang-orang di sekitar kantor stasiun televisi. Perempuan yang memiliki cita-cita untuk membuka kelas pelatihan handmade ini berharap bisa bekerja sama dengan pengusaha lain. Seperti yang ia lakukan dengan salah satu pengusaha muda di bidang anyaman bambu. Dari kerja sama itu, Lia dapat menciptakan kreasi baru, misalnya aksesoris tas anyaman bambu, topi anyaman, dompet anyaman, dan lain sebagainya. Paling penting, Lia ingin usahanya bisa berkembang lebih maju lagi.