Jumat, 10 Agustus 2018

Beda Kepala, Beda Suara? Wajar! So, Stop Mom War!

Sejujurnya, saya suka minder jika harus menuliskan artikel bertema parenting. Soalnya, saya sendiri belum menikah dan mungkin ibu-ibu di luar sana (yang membaca tulisan ini) bisa langsung judge, "Situ aja belum nikah, sok-sok-an nulis naskah parenting." Sebab, yang saya percayai:
Guru terbaik dalam kehidupan adalah pengalaman, dan setiap pengalaman tidak harus kita sendiri yang mengalaminya. Kita bisa belajar dari pengalaman orang-orang di sekitar, asalkan kita bijak dalam menyikapi dan menyortir: apakah pengalaman ini, baik atau buruk? Apakah pengalaman si A, cocok dengan kondisi kita atau tidak? 
Bagi saya pribadi, walaupun terkadang saya terkesan cuek. Sebenarnya saya suka memperhatikan situasi sekitar. Kita hanya perlu lebih bersimpati terhadap permasalahan seseorang. Kalau sampai hati dan mampu membantu menyelesaikan permasalahannya, itu lebih bagus lagi. Hanya saja, saat seseorang memiliki suatu masalah, tidak semua orang mau menerima pertolongan dari kita. Malah mereka keras kepala dengan keputusan mereka sendiri.Kalau sudah begitu, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak boleh memaksa apalagi mencecar orang tersebut karena keputusan yang dia ambil.

Ah, pembahasan saya mulai melebar ke mana-mana. Padahal rencananya saya mau menanggapi tulisan Mak Indri, soal Stop Mom War. Iya saya telatttt banget nanggapinnya, T_T maaf ya.

Intinya, kata Mom War sendiri pada awalnya saya kurang paham (berhubung saya belum nikah kan :D) sampai akhirnya Mak Indri mengangkat tema tersebut sebagai judul artikel, saya jadi lebih paham. Ternyata di kalangan ibu-ibu ada peperangan juga ya? Duh, maaf kalau kesannya saya sarkas karena memang menurut saya hal itu agak lucu.

Untuk apa sih ada Mom War jika kondisi satu ibu dengan ibu lainnya berbeda? Kita kan tidak bisa menyatukan "suara" dari "kepala" yang berbeda-beda. Apalagi kalau perbedaannya jauh banget, seperti:

1. Perbedaan Latar Belakang Adat



Tentunya tiap suku dan daerah punya cara sendiri dalam mengasuh dan membesarkan anak. Ada yang mendidik anaknya harus menjaga sopan santun dan tata krama, sampai terkesan dikekang. Namun, ada pula yang membebaskan anaknya merantau ke sana ke mari demi mengejar masa depan. Siapa yang salah? Tidak ada ... Sekalipun ada cara si A salah, belum tentu cara kita paling benar.

2. Perbedaan Usia
Terlebih zaman sekarang, banyak banget pasangan yang memutuskan menikah muda. Ibu muda yang katanya cenderung masih labil, meski saya yakin tidak ada jaminan bahwa perempuan yang menikah di atas 25 tahun akan lebih dewasa dalam mendidik anak mereka.

3. Perbedaan Zaman



Zaman sudah semakin berkembang, pola pikir seseorang yang lahir di tahun 70-an dengan tahun 90-an tentu berbeda. Contohnya: Ibu-ibu zaman dulu lebih memilih berobat secara tradisional, sedangkan ibu zaman sekarang yang katanya sedikit-sedikit "cek dokter" sedikit-sedikit "obat rumah sakit". Perbedaan pendapat yang kemudian menerbitkan perang sebagai ajang saling menyalahkan dan merasa paling benar. Sangat disayangkan bukan?

4. Perbedaan Kondisi Hubungan antar Suami-Istri, Ibu-Anak, Ayah-Anak.
Ada seorang ibu yang membesarkan anaknya dengan lemah lembut dan kasih sayang, ada pula yang keras dan tampak seperti tidak sayang padahal sebenarnya sayang. Kita mungkin gemas melihat pola asuh ibu yang terlalu keras dan kasar kepada anaknya. Tapi eitsss... kita jangan langsung menyudutkan apalagi perang. Bisa saja ibu itu sedang berusaha melindungi anaknya dari sang ayah yang suka melakukan kekerasan fisik, mendidik anaknya agar tidak manja, atau malah menghukum anaknya yang kelewat nakal.

5. Perbedaan Keuangan Keluarga



Kita tidak pernah tahu alasan seorang ibu memilih bekerja dan menitipkan anaknya kepada orang lain (pembantu, pengasuh, neneknya si kecil, atau neneknya dari pihak suami). Orang hanya melihat bagian depan, "Oh si X diasuh sama neneknya dari kecil. Ibunya kebanyakan kerja, nggak peduli begitu kelihatannya." dan yang tidak mereka tahu, si ibu baru saja bercerai dari suaminya sehingga dia menjadi tulang punggung keluarga, atau malah si suami ternyata gajinya kecil sehingga sang istri berinisiatif membantu mencari pemasukan tambahan.

Itu hanya beberapa contoh perbedaan, saya yakin masih banyak perbedaan lain yang bisa menguatkan kata Please Stop Mom War!. Jikalau kita merasa cara mengasuh seorang ibu salah, kita bisa merangkul dan memberitahunya cara seperti apa yang menurut kita baik.

Namun, ketika dia menolak untuk menerima saran dari kita, ya sudah ... Kita tidak bisa memaksanya. Kehidupannya, dia yang jalani. Susah senang dia yang merasakan. Kita harus tahu batasan diri sebagai "penasihat", karena pada akhirnya semua keputusan ada pada si ibu itu.



* * * * *

Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan pribadi saya terhadap artikel Stop Mom War: Dimulai dari Diri Sendiri yang ditulis oleh Mak Indrinoor dalam #KEBBloggingCollab