Selasa, 27 Maret 2018

Antara Plagiasi dan Permintaan Maaf



Belakangan ini sedang ramai kasus plagiasi yang dilakukan oleh perempuan berinisal D. Hampir-hampir mirip dengan Mrs. A yang namanya dulu pernah melambung karena tulisan kontroversial, “Islam Warisan” namun ternyata tulisan itu dinyatakan plagiat.

Sebenarnya dulu, waktu kasusnya Mrs. A, saya merasa kesal juga. Kok ada ya, plagiator yang tidak tahu malu, mentang-mentang diundang ke sana kemari bahkan oleh presiden sekali pun, ketika aibnya terbongkar dia hanya membuat surat permintaan maaf, namun masih juga diselipkan sisa-sisa sifat arogannya.

Waktu itu saya terlalu malas untuk menanggapi kasus Mrs. A, karena anak yang sudah besar kepala seperti itu kalau belum kena batunya susah sadarnya. Tapi kali ini muncul kasus yang serupa, plagiasi puluhan cerpen yang bahkan tulisan-tulisannya bukan hanya tersebar di media sosial, melainkan juga di media cetak koran. Wow ... Setelah satu persatu kasus terbongkar, dia mulai menuliskan surat permintaan maaf secara terbuka.

Dibilang kecewa, pasti! Tapi jujur saya mengapresiasikan niat baik dia dengan adanya surat itu. Pasti butuh keberanian besar, meski di sana tidak dituliskan alasan dia melakukannya. Ini tidak bisa dikatakan khilaf karena lebih dari 20 cerpen, tidak bisa dikatakan khilaf karena dia mendiamkannya lebih hampir empat tahun. Terlepas dari apakah benar dia seorang penulis atau hanyalah pembaca yang ingin berubah status menjadi penulis terkenal, tapi melakukan plagiat tetaplah sebuah penipuan. Mengapa tidak ada sanksi tegas atas kasus penipuan semacam ini?

Saya jadi teringat kisah pemecatan Khalid bin Walid yang dilakukan oleh Umar Bin Khaththab. Berawal dari masa kekhalifahan Abu Bakar, pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Amru bin Ash dan Khalid bin Walid mendatangi Suku Quda’ah dan Bani Asad, dengan maksud menghadapi kaum yang murtad dan mengembalikan mereka pada ajaran Islam yang benar. 
Singkat cerita, setelah Khalid bin Walid berhasil menumpas pembangkangan Bani Asad, kaum Muslimin bergerak maju menuju perkampungan Bani Tamim yang juga melakukan pembangkangan. Malik bin Nuwairah, sang pemimpin Bani Tamim berhasil dibunuh oleh Khalid. Namun, belum juga darah Malik mengering, Khalid menikahi Laila, istri dari Malik bin Nuwairah.  
Tindakan Khalid ini menyalahi adat kebiasaan orang-orang Arab yang seharusnya menghindari perempuan saat peperangan. Apalagi pembunuhan Malik bin Nuwairah itu dilakukan setelah ia menyatakan keislamannya. 
Atas tindakan itu, Khalid dilaporkan kepada Khalifah Abu Bakar. Ada dugaan, Khalid sengaja membunuh Malik dikarenakan sebelumnya sudah lebih dulu mencintai Laila. Ia melakukan tipu muslihat seolah-olah Malik berhak dibunuh akibat pembangkangan. Namun, Khalifah Abu Bakar tak lebih daripada membayar diat (tebusan) atas kematian Malik dan menulis surat agar para tawanan dibebaskan. 
Ada beberapa pihak yang tidak menyukai keputusan Khalifah Abu Bakar, salah satunya Umar bin Khaththab. 
“Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa, tidak ada perhitungan dan harus ada sanksinya,” kata Umar dengan nada meninggi. 
“Wahai Umar! Ia telah membuat pertimbangan tetapi meleset. Janganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid,” jawab Abu Bakar. 
Pada waktu itu, kaum Muslim sangat membutuhkan Khalid bin Walid dalam kepemimpinan militernya yang jenius. Itu sebabnya, Abu Bakar tidak sampai memecatnya. Namun, Umar tetap saja marah besar kepada Khalid. Umar tidak ingin diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim, lalu menikahi istrinya. Sekali pun ia bergelar Saifullah (pedang Allah) dan telah berjasa menumpas kaum pembangkang, tetap saja hukum harus ditegakkan. 
Penegakan hukum bisa dalam kondisi berbahaya jika mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Ada yang dibiarkan melakukan pelanggaran hukum, sementara yang lain dijatuhi hukuman. Umar berpendapat bahwa seseorang tidak lepas dari dosanya sebelum ia menebusnya. 
Sampai tiba masanya, Umar dipilih menjadi Khalifah untuk menggantikan Abu Bakar, hal pertama yang ia lakukan adalah memecat Khalid bin Walid. Khalid sendiri pun tidak marah, ia menerima semua keputusan itu termasuk menyerahkan kepemimpinan perang kepada Abu Ubaidah.

Apa hubungannya?

Memang, kisah pemecatan Khalid bin Walid mungkin tidak bisa disamakan dengan kasus plagiasi Mrs. D. Kisahnya sangat jauh berbeda, tapi ada banyak hal yang bisa kita ambil hikmahnya. Betapa perkataan Umar itu ada benarnya, 
Umar tidak ingin diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim, lalu menikahi istrinya. Sekali pun ia bergelar Saifullah (pedang Allah) dan telah berjasa menumpas kaum pembangkang, tetap saja hukum harus ditegakkan.
Kita tidak bisa membeda-bedakan apakah orang yang melakukan kesalahan itu adalah orang penting atau bukan, orang yang terdekat dengan kita, atau apakah kita mengenalnya atau tidak. Kesalahan tetaplah kesalahan yang harus berikan sebuah hukuman. Hukuman di sini tidak terbatas dengan kata “pidana” ataupun “penjara” meskipun pelanggaran akan kasus plagiasi sendiri sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Tapi, amat disayangkan jika sebuah penerbit malah ikut membela si plagiator hanya karena hubungan kedekatan, seakan menutup mata bahwa yang dilakukan si plagiator itu kesalahan fatal. Jadi, untuk apa ada tulisan “Dilarang memperbanyak isi buku tanpa izin dari penerbit. Hak cipta dilindungi undang-undang.” Kalau bahkan penerbit itu sendiri malah membelanya?

Andai kata, orang yang memplagiat itu tidak dekat dengan penerbit X? Apakah penerbit itu juga akan membelanya mati-matian? Penerbit X pasti punya pertimbangan, seperti Khalifah Abu Bakar yang memutuskan untuk tidak memecat Khalid karena masih membutuhkan jasanya dalam kemiliteran. Tapi apa pun pertimbangannya, saya lebih mendukung keputusan yang dilakukan oleh Khalifah Umar. 

Penerbit buku adalah tempatnya para penulis bisa merasa aman, sebab karya-karya mereka telah diterbitkan secara sah dengan bukti fisik berupa buku. Maka, bukankah sudah sepatutnya penerbit ikut memberi sanksi tegas kepada orang-orang yang melakukan plagiasi? 

Saya tidak meminta penerbit untuk memblacklist Mrs. D. Walaupun setahu memblacklist seorang plagiator bukanlah berita baru, itu sudah umum dan sah terjadi. Misalnya Grup Unsa (salah satu tempat Mrs. D menang lomba menulis) yang akhirnya mencabut gelar runner-up Mrs. D dan memblacklistnya selama 2 tahun. Agar apa? Agar memberi efek jera kepada Mrs. D dan tidak ada lagi orang-orang yang melakukan hal yang sama (memplagiat naskah).
Memblacklist bukan berarti membenci plagiator, melainkan membenci tindakan plagiatnya.
Saya hanya takut, ke depannya ... jika tak ada sanksi tegas, lalu dengan begitu mudahnya seorang plagiator meminta maaf, serta mendapat dukungan dan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, bahkan penerbit yang pernah menelurkan bukunya, plagiator-plagiator di luar sana jadi menggampangkan kejadian ini.
“Ah, tinggal copas naskah orang, kalau ketahuan tinggal bikin surat permintaan maaf terbuka. Nggak perlu mendengarkan omongan netizen yang pedas, nanti hilang dengan sendirinya.”
Lalu, untuk Mrs. D, jadilah Khalid yang berlapang dada. Surat permintaan maaf bukanlah bentuk pertanggungjawaban terakhir, apalagi dijadikan solusi untuk menyelesaikan masalah dengan mudah, semudah kamu menerbitkan buku dengan cara plagiat. 

Permintaan maaf secara terbuka hanyalah awal, maka perlu dilanjutkan ... Jelaskan dengan gagah naskah mana saja yang sudah kamu plagiat, beritahu orang-orang yang dulu pernah menjadi pembaca setiamu. Lebih bagus lagi kalau kamu bisa mengembalikan semua uang hasil menang lomba ataupun honor hasil plagiatmu itu. Kalau memang tidak bisa, ya saya tidak bisa memaksa, karena kondisi seseorang beda-beda. Tapi saya ingin mengingatkan bahwa uang hasil penipuan itu jatuhnya haram, dan apabila kamu bertobat tanpa mengembalikannya, bisa berubah menjadi utang yang akan terus kamu bawa mati. Kecuali, mungkin pihak yang kamu rugikan mengikhlaskan uang-uang itu.


*** 

Cerita mengenai Khalid bin Walid disadur dari buku the Golden Story of Umar bin Khaththab terbitan Maghfirah Pustaka.

Rabu, 21 Maret 2018

Sajak Indah Tentang Perang Badar



Judul Buku : Kisah Berima Asmaul Husna Al-Fattah
Kategori      : Non Fiksi Anak
Penerbit      : Maghfirah Kids
Penyusun    : Syarifah Levi
Tebal buku : 24 halaman
Cetakan      : Pertama, September 2017

Buku ini sama sekali berbeda dengan buku-buku anak terbitan Maghfirah Pustaka lainnya. Jika pada serial Kika, pembaca disuguhkan cerita petualangan gadis cilik berdasarkan ayat al-Quran. Lalu, AAQ yang mengadopsi konsep komik dan referensi. Buku Kisah Berima ini cenderung menekankan gaya bahasanya yang indah. Ya iyalah, namanya juga kisah berima, otomatis tulisan yang disajikan terkesan seperti sajak-sajak.
Andai kaum Muslim kalah di Perang Badar. 
Islam akan musnah dan tak kan bersinar.
Inilah perang umat Islam pertama kali. 
Agar kalimat tauhid tetap abadi.
Pasukan Muslim sedikit, dengan bekal seadanya. 
Sedangkan musuh banyak, bekal lengkap semuanya. 
Sebagian pasukan Muslim merasa sedih.
Terbayang mereka akan kalah.
(Halaman 10-13)
Membaca sajak dan syair memang menyenangkan. Cerita yang sudah pernah kita dengar sekalipun menjadi berbeda nuansanya, menjadi indah. Namun, yang perlu digarisbawahi tidak semua orang memahami bahasa sajak, terutama anak-anak. Karena bahasa sajak pada umumnya menggunakan kata-kata yang rumit dan berat. Anak-anak tidak suka itu, mereka lebih suka bahasa yang sederhana, to the point, dan bisa dengan cepat mereka tangkap maknanya.

Nah, yang saya suka, buku Kisah Berima Asmaul Husna Al-Fattah ini meskipun bergaya bahasa sajak, kalimat-kalimatnya sederhana dan mudah dipahami sehingga ini bisa menjadi poin plus.


Ilustrasi gambarnya juga menarik, mendukung, dan sesui dengan isi sajak. Sekadar informasi, buku ini berkisah tentang perjuangan umat Muslim melawan musuh kafir dalam perang Badar. Tentu saja dalam buku tersebut ada ilustrasi tokoh-tokoh Muslim, termasuk Rasulullah. Tapi eeiitsss ... Sosok Rasulullah tentu tidak digambarkan secara gamblang, sebab seperti yang kita ketahui beliau adalah manusia agung pilihan-Nya. Rasulullah digambarkan bagai cahaya rembulan dan agar mudah dikenali, ditambahkan bahasa Arab yang bertuliskan nama beliau.


Hal lainnya yang perlu diketahui dari buku ini, meskipun kisahnya tentang peperangan, kita tidak perlu takut memberikan buku ini kepada anak. Karena sejatinya, kisah yang dituturkan di sini jauh dari kata-kata kekerasan. Ilustrasinya pun malah terkesan lucu dan imut. Intinya, semua lebih mengarah pada perjuangan umat Muslim, kepercayaan Rasulullah kepada Tuhannya, dan pertolongan Allah atas kemenangan dalam perang Badar, sehingga disebutlah dalam asmaul husna bahwa Allah adalah al-Fattah, yang berarti Pemberi Kemenangan.

Selasa, 06 Maret 2018

UMAR BIN KHATHTAB: dari Seorang Penentang Menjadi Pelindung Rasulullah SAW





Sejarah hidup para sahabat Nabi merupakan kisah-kisah yang menarik untuk dibaca. Selain tentang kezhuhudan mereka kepada Allah SWT, juga mengenai perjuangan dan ketulusan mereka selama mendampingi Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam.


Salah satu sahabat Nabi yang kisah hidupnya bisa menjadi inspirasi adalah Umar bin Khaththab, sosok yang tinggi, tegap, dan memiliki watak pemberani. Sebelum mengimani Islam, Umar telah lebih dulu dikenal sebagai penentang yang sangat keras. Ia bahkan tidak segan-segan memukuli budak perempuannya yang ketahuan beriman kepada ajaran Nabi SAW dan tidak mau kembali pada ajaran nenek moyang kaum Quraisy.

Yup, dari buku berjudul the Golden Story of Umar bin Khaththab ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu Umar sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Tapi meski dulunya Umar seorang penentang, ia tetaplah sosok yang berkepribadian baik. Umar berasal dari garis keturunan suku Quraisy, suku bangsawan dan terpandang di kalangan kaumnya pada masa itu. Keluarga dari pihak ayah maupun ibunya, juga dikenal baik dan bijak dalam mengambil keputusan (kakeknya Umar adalah hakim yang disegani). Umar pun kerap membantu orang-orang menyelesaikan perkara-perkara mereka, ia memuliakan istri-istrinya, dan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya. Mungkin bisa dibilang, salah satu kesalahan terbesar Umar pada saat itu adalah sempat memusuhi Islam dan Rasulullah SAW.

Umar bin Khaththab Masuk Islam
Makkah di suatu hari. Rasulullah SAW tengah memanjatkan sebuah doa dengan khusyuk. Wajahnya penuh harap doanya terkabul mengingat betapa beratnya tantangan dakwah yang akan dihadapinya. Lantunan kata terucap dari mulutnya. "Ya Allah ... buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini, (yaitu) Amr bin Hisyam atau Umar bin Khaththab." 
Allah subhanahu wa ta'ala mengabulkannya dengan memilih Umar bin Khaththab sebagai salah satu pilar kekuatan Islam, sedangkan Amr bin Hisyam meninggal sebagai Abu Jahal.
- Halaman 17
Bahkan seorang Rasul pun memberikan Umar doa khusus agar cahaya Islam dapat masuk ke relung hatinya. Maka, atas izin Allah, Umar pun masuk Islam. Benar saja, masuknya Umar ke dalam Islam, nyatanya membawa perubahan besar terhadap penyebaran Islam, yang awalnya masih sembunyi-sembunyi, (kemudian dengan adanya Umar) menjadi berdakwah secara terang-terangan. Salah satunya dengan pawai mengelilingi Ka'bah.
Setelah kaum Muslim berkumpul di rumah Arqam, dengan sigap Umar mengumpulkan dan memerintahkan kaum Muslim untuk berbaris. Umar dan Hamzah menyelempangkan busur beserta anak panahnya sambil membawa pedang. Mereka pawai sambil lantang mengucapkan, "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullahu." 
Kaum Muslim yang berada di belakangnya secara serempak membaca apa yang dibaca Umar dan Hamzah. Umar berkata dengan suara lantang, "Siapa yang berani mengganggu salah satu yang ada di belakangku, pedang ini akan menggorok lehernya."
- Halaman 54
Tapi tidak hanya sampai di situ, buku ini juga mengisahkan betapa besar cinta dan ketulusan Umar kepada Rasulullah, sampai-sampai ketika beliau wafat, Umar hampir tidak dapat menahan emosinya. Ia baru bisa ditenangkan setelah mendengar nasihat sahabatnya, Abu Bakar.

Umar juga menjadi orang yang mendukung dan membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah pertama, sebab ia merasa terlalu keras untuk menjadi seorang pemimpin. Namun, takdir berkata lain ketika Abu Bakar akhirnya wafat, Umar pun akhirnya dibaiat oleh kaumnya untuk menjadi khalifah pengganti Abu Bakar. Begitulah kisah selanjutnya hingga Umar wafat.

Material Book

Buku ini memiliki kualitas yang sangat bagus. Dari segi bahasa, buku ini sangat enak dibaca, bahasanya yang sederhana, dan mudah dipahami. Ada penjelasan atau semacam footnote apabila ada istilah-istilah khusus, tentu saja itu membantu para pembaca awam yang sebelumnya tidak terbiasa membaca buku-buku agama.

Sedangkan dari segi fisik bukunya. Buku memiliki cover yang tebal alias hard cover, hingga menambah kesan bahwa buku ini ibarat sebuah "kitab" yang bisa kita gunakan sebagai referensi untuk mendalami kisah hidupnya sang Amirul Mukminin.


Selain itu, beberapa keunggulan yang bisa pembaca dapatkan dalam buku ini, yaitu:

*Terdapat foto-foto ekslusif
*Terdapat gambar-gambar ilustrasi
*Terdapat tabel dan peta
*Full colour
*Kertas lux licin

Sangat rekomendasi untuk dibaca!