Selasa, 31 Mei 2016

Tak Ada Mimpi yang Dicuri, yang Ada Hanya Rasa Iri


Cover novel Mr & Mrs Writer


Judul Buku : MR & MRS WRITER
Kategori       : Fiksi (Novel)
Penerbit        : Sheila
Tahun Terbit : 2016
Tebal Buku   : viii + 408 halaman
Penulis          : Achi-TM
Harga            : Rp 74.000,-

Munculnya novel bertema pasangan muda dan konflik rumah tangga, bukanlah sesuatu yang baru di bidang literasi. Terlihat dari banyaknya novel-novel sejenis yang diterbitkan dalam kurun waktu satu tahun. Terlebih lagi, sebelum menerbitkan novel berjudul Mr & Mrs Writer, sang penulis Achi-TM sudah pernah menerbitkan beberapa novel serupa. Sebut saja Cloud(y), Sun(ny), sampai Insyaallah Sah!. Menariknya, novel Achi-TM ini memiliki warna yang berbeda dibandingkan novel-novel terdahulu.

Cover novel berlatar belakang campuran warna antara biru toska, biru, dan putih, ditambah dengan gambar mesin tik serta buah mangga yang tampak matang. Ukuran font judul juga dibuat cukup besar, seolah sengaja dibuat oleh penerbit untuk mengakali agar cover tidak terlihat kosong. Jadi apabila dilihat secara keseluruhan, cover novel ini sangat eye cathing.

Sesuai dengan judulnya Mr & Mrs Writer, penulis berupaya menghadirkan cerita berbeda mengenai pasangan muda yang berumah tangga. Cerita pasangan yang berprofesi sebagai penulis, Achi-TM seolah ingin membagikan kisah hidup antara dirinya dengan sang suami yang juga berprofesi sebagai penulis. Namun karena genre buku ini fiksi-literatur, maka tidak semua yang tersajikan di dalam novel adalah cerita nyata. Saya sendiri tidak bisa menebak bagian mana yang merupakan kisah nyata, bagian mana yang menjadi imajinasi sang penulis. Maka biar saja, lalu nikmati setiap diksi yang tertera.

Ilustrasi: pz-c-us.blogspot.com

Bab pertama dari novel ini dibuka oleh sosok Ara, tokoh utama yang terlihat begitu gigih mengejar mimpinya. Saat itu, Ara tengah berpacu dengan waktu menuju kantor pos. Hanya tersisa satu jam, kesempatan bagi Ara untuk mengirimkan naskah novel. Apabila melebihi batas waktu yang ditentukan, secara otomatis Ara akan gagal mengikuti seleksi beasiswa menulis. Gadis itu sempat menemui berbagai kendala, mulai dari hujan yang tak kunjung reda, diserempet motor, sampai ceroboh menghilangkan naskahnya sendiri. Namun, di tengah keputusasaan itu, Ara justru bertemu dengan Roy, cinta pertamanya,

Selang dua tahun kemudian, Ara masih belum bisa melupakan Roy. Dunia Ara dipenuhi dengan ambisi menerbitkan novel, mengadakan launching, dan janji menikah dengan Roy! Sayangnya, satu persatu ambisi Ara runtuh. Novel pertama Ara hanya diterbitkan di penerbit kecil yang masih baru, acara launching tidak berjalan lancar, bahkan pengunjungnya hanya satu.

Kemunculan tokoh Ragil ini, menurut saya memiliki peranan penting dalam mengarahkan plot. Lelaki itu hanya seorang tukang kayu, sama sekali tidak menarik minat Ara. Tapi dia berani mengritik pedas karya Ara, bahkan menggodanya.
"Elo siapa, sih? Warga sini juga bukan, gangguin aja." 
"Saya calon warga sini, kok. Sebentar lagi juga akan bikin surat izin menikah di sini, iya, kan, Ara?" 
Sekonyong-konyong tawa Ara seperti dipangkas oleh silet, terbelah dua. Menjelma rasa terkejut yang  luar biasa. Gina tersedak, Ibu dan Bapak yang ada di kursi depan hanya senyum-senyum kecil. Dalam hitungan beberapa detik, satu bus sudah riuh oleh suara ibu-ibu yang menjadi pembenaran. 
"Maksud sampeyan calon suaminya, Ara?" 
"Kapan nikahnya?" 
"Oalaah pantes dia ikutan tur kita." 
Suara-suara lain yang di telinga Ara bagaikan dengung lebah. Ara berdiri dan berteriak. "Bukaaan! Dia bukan calon suami saya!" 
Suasana hening seketika, tapi bus tetap melaju lambat. Semua mata memandang Ara lalu memandang Ragil. Bahu Ara naik-turun. Ia melirik Ragil dan berharap bisa melempar lelaki itu keluar jendela. Tapi sayang, tenaganya tak lebih besar dari tenaga seekor kambing. 
"Lho... kok elo GR, Ra? Kan gue cuma bilang mau bikin surat izin menikah, emang perempuan single di RT ini cuma elo aja, ya?" Ragil tertawa kecil. 
(halaman 76-77)
Hingga mereka akhirnya menikah, dari sinilah konflik bermula. Antara mimpi dan kesetiaan cinta yang bisa membuat pembaca kesal. Ara tidak pernah mencintai Ragil. Ia hanya memandang Ragil sebagai laki-laki yang memiliki pemikiran yang berbeda. Lelaki yang mencurahkan ruh-nya ketika menulis, hingga hasil tulisannya menjadi begitu bernyawa. Cara Ragil mengeja kata-kata membuat Ara terpikat sekaligus merasa iri. Bagimana mungkin seorang tukang kayu bisa mengalahkan perempuan yang notabene pernah mendapat beasiswa menulis? Tapi nyatanya sikap Ara itu disalahartikan Ragil sebagai bentuk ketertarikan dan cinta kepadanya. Ara juga telanjur menyetujui perjanjian bodoh dengan lelaki itu, hingga berakhir pada pernikahan yang sama sekali tidak Ara harapkan.

Ragil tidak peduli jika Ara tidak bisa mencintai dirinya sepenuh hati. Lelaki itu percaya, cinta akan tumbuh apabila dipupuk terus-menerus. Seperti pohon mangga yang diberi pupuk terbaik, bila saatnya tiba mangga tersebut pasti akan berbuah manis.

Sebagai penulis, Achi-TM berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca. Pergantian suasana dalam novel ini terasa begitu nyata tanpa terkesan mendramatisasi. Cerita yang semula mengocok perut karena keusilan Ragil menggoda Ara, perlahan menimbulkan kekesalan saat Ara bersikap kurang ajar kepada suaminya.
“Seharusnya aku nggak nikah sama kamu! Seharusnya aku nikah sama penulis juga! Sama orang yang sama-sama ngerti gimana susahnya nulis!” Ara menatap nanar Ragil. 
“Sehingga dia nggak dengan gampangnya minta duit sama istri.” 
“Ara, ini nggak akan lama, cuma sampai aku bisa menjual lemari-lemari aku ….” 
“Omong kosong!” 
(halaman 117)
Ilustrasi: www.johnhembree.com

Sayangnya, novel ini memiliki beberapa kesalahan dari segi teknik penulisan. Meski tidak terlalu fatal, namun cukup mengganggu. Misalnya ketidakkonsintenan tokoh dalam memakai kata ganti ‘aku-kamu’ dan ‘gue-elo’. Seperti yang terjadi pada halaman 63:
“Males banget bawa kamu ke pantai, bisa bokek gue. Udah ikutin gue aja….” Ragil mengambil sapu tangan hitam panjang dari saku celana pantainya. “Gue butuh bantuan elo, nih.”
Juga pada halaman 65 dan 69. Kemudian, tanda elipsis (…) yang seharusnya tiga titik kerap bertambah menjadi empat titik (….). Selain itu, masih terdapat kata-kata yang kurang nyambung, seperti halaman 76:
Gina tersedak, Ibu dan Bapak yang ada di kursi depan hanya senyum-senyum kecil. Dalam hitungan beberapa detik, satu bus sudah riuh oleh suara ibu-ibu yang menjadi pembenaran.
Kata “menjadi pembenaran” kurang tepat. Lebih tepat bila diganti menjadi “mencari pembenaran”.

Harga novelnya juga cukup mahal, Rp 74.000,-, tapi kalau dilihat dari ketebalan buku, harga tersebut sebenarnya sangat wajar. Terlebih lagi, novel ini bukan hanya menyuguhkan problematika kehidupan rumah tangga pasangan muda, melainkan pembaca juga diajak untuk “terjun” ke dalam lika-liku dunia penulisan, penerbitan, PH (production house) serta tambahan pengetahuan melalui kedua tokoh utama, tanpa terkesan digurui.
Ara mengeram kesal. “Mentang-mentang tulisan di blog elo bagus terus elo…. Ergh… kasih tahu gue kenapa tulisan elo di blog terasa seperti hidup?” 
“Karena gue menghidupkan hati gue, bukan mematikan hati gue.” 
(halaman 67)

Senin, 30 Mei 2016

Berburu Bintang Bersama HAAJ

Matahari telah beranjak ke ufuk barat. Sebuah Gedung bertingat dua yang berada di awasan Taman Ismail Marzuki mulai ditutup. Gedung yang berdiri sejak zaman Presiden Soekarno itu, merupakan tempat yang menarik untuk dikunjungi. Sayangnya, tak banyak yang tahu bahwa setiap dua minggu sekali di Sabtu sore, Gedung Planetarium dan Observatorium Jakarta menggelar acara diskusi seputar kehidupan langit.

Para pemburu bintang berdatangan dari berbagai wilayah di Jakarta dan sekitarnya tanpa memandang perbedaan usia, jenis kelamin, ataupun pekerjaan. Berjalan kaki atau naik kendaraan, mereka datang dengan semangat dan kecintaan yang sama terhadap ilmu astronomi.

Di planetarium, mereka saling bertukar pikiran, tergabung dalam sebuah komunitas yang sudah hampir berjalan selama 30 tahun, meski dengungnya masih kurang terdengar di masyarakat awam.

Himpunan Astronomi Amatir Jakarta atau yang biasa disingkat HAAJ, merupakan sebuah komunitas yang berdiri di bawah naungan pihak Planetarium dan Observatorium Jakarta. Wadah bagi para pecinta ilmu astronomi, khususnya bagi mereka yang tinggal di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Tapi bukan berarti masyarakat di luar Jakarta tidak diperbolehkan untuk bergabung. Himpunan yang terbentuk sejak 21 April 1984 ini, terbuka bagi siapapun yang ingin mempelajari dan memperdalam ilmu astronomi.

Murid SMAN 3 Bogor bergantian melihat Bulan lewat teleskop

Sejak planetarium resmi dibuka untuk umum, animo masyarakat terhadap ilmu astronomi semakin besar. Sehingga dibentuklah sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat banyak kegiatan. Salah satunya pertemuan rutin dwi-mingguan untuk mendiskusikan seputar ilmu astronomi secara sederhana dan menyenangkan, dengan mengundang pengisi materi yang berbeda-beda setiap pertemuannya. Kalau beruntung, kita bisa menikmati penampakan benda-benda langit melalui teleskop yang disediakan di sana. Jika biasanya mata kita dimanjakan dengan bulan purnama yang bulat besar, dengan warna keoranyean, melalui teleskop semuanya menjadi berbeda. Kita tidak hanya dapat melihat bulan secara lebih dekat, tetapi juga detail seperti lembah-lembah 'bintik' hitam bisa kita dapatkan. Hanya saja, kita bisa menikmati penampakan tersebut selama langit dalam keadaan cerah.

Menikmati Panorama Langit Malam
Kegiatan diskusi yang dilakukan di dalam Gedung Planetarium dan Observatorium Jakarta sejak pukul 16.00 - 20.00 WIB tidak dipungut bayaran, peserta diskusi hanya disarankan untuk membeli fotokopi handout yang telah tersedia di sana. Selain itu, HAAJ juga menjual souvenir astronomi seperti Majalah Astronomi, kacamata matahari, green laser, T-Ring, science scraft, ular tangga astronomi, kaos astronomi, dan sebagainya.

"HAAJ melakukan banyak kegiatan seperti Star Party, Astro Party, seminar astronomi, workshop astronomi, di sekolah-sekolah, juga pengamatan di luar planetarium, misalnya di UI Depok, IPB Bogor, atau tempat-tempat yang mendukung untuk dilakukan peneropongan. Ada festival astronomi, sampai kampanya penyuluhan astronomi." jelas Muhammad Rayhan, selaku ketua HAAJ tahun 2013, saat ditemui di Jakarta.

Astronomi adalah ilmu yang cukup tua. Sebuah ilmu yang membahas tentang kehidupan langit, dan menerapkannya dengan mengamati benda-benda langit, memprediksi, dan mencari kehidupan di antariksa. Banyak pula yang menganggap ilmu tersebut sebagai ilmu yang sia-sia. Astronomi diidentikan sebagai bidang ilmu yang sulit dipelajari, mahal, dan kurang terbukanya lapangan pekerjaan, terutama di Indonesia. Tapi HAAJ mencoba mengesampingkan semua paradigma negatif tersebut. Astronomi bisa dipelajari dengan cara yang menyenangkan. Berdiskusi meski bukan profesional, karena nama komunitas itu sendiri menyandang kata 'amatir' yang berarti kesukaan.

Komunitas tersebut patut diacungkan jempol. Berbagai event, acara telah mereka lakukan, mendatangkan pengajar berkompeten tanpa meminta bayaran kepada peserta diskusi (kecuali acara di luar planetarium). Terlebih para pengurus dan anggotanya sangat bersemangat untuk mengembangkan dan menyebarluaskan keberadaan komunitas tersebut di mata Indonesia, bahkan ke mancanegara.

Untuk menjadi anggota HAAJ, seseorang hanya perlu datang dan mengikuti kegiatan diskusi dwimingguan minimal enam kali selama setahun dan satu kali star party untuk umum. Setelah itu bisa mendaftarkan diri kepada pengurus HAAJ untuk dibuatkan kartu anggota. setelah menjadi anggota, tentu saja tanggung jawab terhadap komunitas menjadi lebih besar dibandingkan hanya menjadi peserta diskusi biasa. Namun, dengan menjadi anggota, kita bisa mengikuti berbagai star party khusus yang biasanya dilakukan di luar kota, dan berbagai acara lain yang tidak bisa dilakukan oleh peserta non-anggota.

Siapkan Nalar! Apakah Mala Benar-benar Indigo?


Cover novel Rumah Lebah

Judul Buku : Rumah Lebah (Rahasia di Balik Wajah-Wajah Asing)
Penulis : Ruwi Meita
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : 2008
Tebal : X + 286 halaman
ISBN : (13) 978-979-780-228-8

Mari kita lihat identitas buku yang saya tulis di atas, buku ini terbitan tahun 2008. Tujuh tahun lalu? Terbitan lama dong? Yup, benar banget. Buku Rumah Lebah-nya Ruwi memang sudah lama terbit, sayangnya saya baru baca sekarang atau mungkin lebih tepatnya saya baru tahu kalau ada novel semacam ini yang kebetulan penulisnya orang lokal alias bukan terjemahan *miris. Tapi tak apa-apa, karena menurut saya buku ini cukup bagus untuk di-review. Dari genre bukunya, bisa dikatakan Ruwi termasuk penulis yang berbeda dengan penulis perempuan lainnya, yang kebanyakan mengambil genre romance, teenlit, young adult, atau fantasi.

Secara garis besar, genre buku ini horror. Detektifnya ada, horror psikologisnya ada, thiller-nya pun ada. Intinya isi buku ini cukup mengejutkan karena sejak awal penulis langsung mengajak pembacanya 'melihat' kejadian mengherankan. Mala, gadis kecil yang tiba-tiba berada di atas atap rumah. Bagaimana dia bisa berada di sana? Padahal saat itu sudah tengah malam, dan dia masih sangat kecil untuk bisa merangkak naik ke atap yang tinggi. Nawai dan Winaya, orang tua Mala, bahkan para tetangga bingung dibuatnya. Sampai-sampai Nawai dan Winaya terpaksa berbohong dengan mengatakan Mala mengalami 'penyakit' tidur sembari berjalan yang akhirnya mengantarkan dirinya sampai ke atap. Benarkah?

Ilustrasi: www.personal.psu.edu

Lalu, penulis meredam rasa penasaran pembaca dengan menyajikan cerita kehidupan keluarga Nawai setelah pindah ke Bukit Mata Kaki. Pada bagian tersebut panulis menggiring pembaca agar satu pemikiran yaitu memvonis Mala mengalami suatu 'penyakit' yang benar-benar serius. Ya, Mala si anak indigo. Begitu yang dikatakan Martha, satu-satunya teman cerita Nawai. Nawai pun tampak mulai goyah apakah Mala benar-benar anak indigo atau bukan, karena Mala selalu menyebutkan nama-nama asing yang dianggapnya sebagai teman khayalan.

Tante Ana, Abuela, si kembar, Willis, dan Satira. Mereka adalah 'hantu-hantu' yang selalu menemani keseharian Mala. 'Hantu-hantu' yang membuat Mala tampak berbeda dengan kebanyakan anak kecil lainnya. Mala yang begitu kaku, formal, tanpa banyak ekspresi, dan jenius, membuat anak-anak lain menganggapnya aneh, bahkan dulu ia sempat bermasalah dengan wali kelasnya yang dianggap 'gila' hormat.

Melompat beberapa bab, penulis mulai mengalihkan cerita Mala dengan kisah Alegra Kahlo, sang artis cantik yang nantinya akan menjadi pemeran utama dalam film yang diangkat dari buku best seller Winaya. Di sini saya sendiri agak bertanya-tanya, apa hubungannya antara konflik yang terjadi pada Alegra dengan kisah Mala dan Nawai? Lalu, kisah kematian Deni, si wartawan gosip yang sempat memeras Alegra, apakah memiliki benang merah dengan cerita awal dibuat oleh penulis? Tapi rupanya itulah hebatnya Ruwi Meita. Jujur, saya sampai berdecak kesal karena tidak berhasil menebak twist ending dalam novel ini. Mengenai 'penyakit' Mala, pelaku pembunuhan kematian Deni, sampai judul dari buku ini sendiri 'Rumah Lebah'. Apa rumah lebah? Siapa sang ratu lebah? Siapa sebenarnya para 'hantu' yang selalu disebutkan oleh Mala?


Ilustrasi: http://proxy-oq.deviantart.com/

Terlepas dari semua kekaguman saya terhadap buku ini. Rumah Lebah memiliki beberapa kekurangan yang terpaksa saya ungkapkan. Cerita pada bagian Nawai berada di rumah terlalu mendetail, sehingga alurnya berjalan begitu lambat dan sedikit membosankan. Lalu, ada gambaran dari novel ini yang kurang mendidik, yaitu membiarkan hubungan di luar nikah seperti yang terjadi pada Nawai dan Winaya, juga Alegra dan Rayhan.

Ketiga... setelah saya searching di internet, buku ini katanya kurang booming padahal ceritanya bagus bahkan nggak kalah sama buku-buku terjemahan. Dan jujur lagi, saya baru tahu Ruwi Meita membuat buku ini setelah saya membaca novel Misteri Patung Garam, tentunya karya Ruwi juga (Azzzz bagian ini bikin saya gemas).

Secara keseluruhan buku ini patut diacungi jempol karena permainan psikologisnya yang mantap!

Mengenal #HIJAB1ST

Yang namanya sesuatu kalau lagi tren pasti diburu ... Begitu pula perihal hijab yang sempet booming banget tahun 2013. Orang langsung berbondong-bondong memakai hijab, style-nya pun mulai bermacam-macam, berwarna-warni, dan lebih fashionable.

Bidang literasi sendiri nggak kalah seru waktu itu. Banyak dari penulis sampai desainer muslim berlomba-lomba ciptakan ide dan kreasi baru tentang hijab. Alhamdulillah kalau bisa sampai menginspirasi, toh berhijab memang suatu kewajiban bagi seorang muslimah kan?

Sebagai penulis, saya termasuk salah satu orang yang kena dampak dari tren tersebut. Etsss ... tapi buku yang saya tulis bukan tentang desain hijab atau model hijab gulung sana-gulung sini lho hehe ...

Cover Antologi #HIJAB1ST

Bersama ke-13 penulis, saya membukukan pengalaman pertama kami ketika berhijab. Ya, pengalaman pertama ... Apa alasan yang melatarbelakangi seseorang memakai hijab? Apa yang membuat orang tersebut bertahan?

Apakah benar-benar hanya sekadar tren yang ketika tren tersebut hilang, maka bisa melepas hijab seenaknya?

Pengalaman ini terbungkus dengan beragam ekspresi. Ada yang cukup melow seperti "Almarhunah Mama, Sumber Inspirasiku" by Nelfi S.

Ada lucu, "Bukan Monyet Berhijab" by Nela Fayza.

Ada yang menginspirasi, "Ziarah Gunung," by Nadrah Chino.

Masih banyak yang lain.

Klik di sini untuk book teaser.

Ada liputan launching buku #HIJAB1ST oleh Nelfi Syafrina.

Lihat review yang ditulis oleh Dewi H.

Lihat juga review Aisyah Dinda.

Berhubung buku ini terbitnya 2013, jadi pasti di toko buku sudah tidak ada. Kalau masih penasaran, teman-teman bisa mencari di toko buku online. :-)

Dari Motivasi Sampai ke Fiksi

Cover buku CeKers Unyu-Unyu

Judul Buku : CeKers Unyu-Unyu
Penulis         : Reni Erina
Penerbit        : PT Elex Media Komputindo
Cetakan        : Pertama 2014
Tebal             : xvi + 158 halaman
ISBN             : 978-602-02-3476-2

Tidak seperti novel-novel pada umumnya, penulis yang lebih akrab dipanggil Bunda Erin ini menyuguhkan cerita yang segar sekaligus inspiratif dalam novelnya yang berjudul CeKers Unyu-Unyu. Memakai latar belakang tempat CK Writing Community / Academy, yaitu tempat yang dijuluki Markas LA oleh para CeKers dan DeKers, Bunda Erin menuliskan satu demi satu kisah yang membuat pembacanya bertanya-tanya, "Tokoh-tokohnya beneran nyata nggak ya?"

Karena kisah yang dituliskan Bunda Erin adalah kisah keseharian para CeKers saat mereka di Markas LA. Mulai dari tokoh Ayka yang doyan banget patah hati, sampai kepolosan tokoh Nata yang bikin orang geregetan.

"Duh, semua berantakan, Kak Niko..."  
"Nata, lo nggak apa-apa, kan?" 

"Sebenarnya aku takut, Kak. Tapi aku coba beraniin diri. Aku ingat pesan Kak Niko tadi, cek kondisi lalu cari bantuan. Aku sudah cek kondisi, Kak. Tapi aku belum cari bantuan. Sebab kata Si Kret cukup kami berdua saja." 

"Nata serius, jangan sok berani!" 

"Aku serius, Kak. Oya, sampai lupa tadi; selamat siang, Kak Niko." 

"Nata! Ya, ampun. Terus gimana sekarang keadaannya? Si Kret gimana?" 

"Sekarang... puaah... aku capek banget, Kak. Kalau Si Kret nggak ada capeknya, dia terus saja memburu..." 

"Nata! Panggil bantuan, segera!" 

"Kata Si Kret nggak perlu, Kak Niko!" 

"Nata, jangan main-main! Gue udah telepon Ayah, dan Ayah menuju ke markas sekarang." 

Di tempatnya, Nata tertegun. "Oo... jadi Ayah juga mau bantuin tangkep tikus sebelum kelas mulai, Kak?" 

"Hah? Maksud lo?" 

--Bab 5 "Ada Penjarah di Markas"

Untuk yang belum tahu, CeKers adalah sebutan untuk anggota yang tergabung di CK Community, sedangkan DeKers merupakan pengasuh-pengasuh komunitas tersebut, termasuk Bunda Erin sendiri.

Ada banyak ilmu yang diberikan para DeKers di CK Community, dan Bunda Erin memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam novelnya. Beragam tips seputar literasi di setiap akhir bab, membuat novel ini seperti buku saku wajib bagi calon penulis. Yang pasti, menyimak setiap cerita di dalam buku ini seperti berada di tengah-tengah keluarga CK Community. Ditambah cover novel yang manis, berwarna pink dengan paduan gambar segelas cokelat panas dan warna-warni Macaron.